Dunia pendidikan mempunyai peranan penting dalam membina dan
mendidik generasi muda yang beilmu, beriman dan berakhlak mulia. Untuk itu
pendidikan akhlak menjadi penting dalam penerapan dan pelaksanaan kurikulum
pendidikan.
Aceh sebagai bumi Serambi Mekah bercita-cita membangun dan
mewujudkan pendidikan yang Islami sesuai dengan amanah pilar pendidikan Aceh.
Terwujudnya pendidikan yang Islami bergantung kepada dasar pondasi yang kuat
dan kokoh mengikut nilai-nilai filosofis pendidikan Islam. Tetapi realita pendidikan
hari ini agak memprihantinkan sebagaimana keluhan masyarakat tentang
kemerosotan akhlak pelajar. Hal ini di ungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Aceh
Anas M Adam beberapa hari yang lalu dalam Seminar Pendidikan yang bertema “Melalui
Peringatan Hari Guru, kita Wujudkan Guru yang Berkarakter Islami”.
Penulis berpandangan bahwa tema ini sebagai semangat, motivasi, dan perjuangan seorang guru dalam mendidik generasi muda yang berakhlak mulia. Guru yang berdisiplin, mempunyai misi dan visi, memiliki sifat kasih sayang, kreatif, inovatif, dan juga mempunyai kesadaran yang tinggi sebagai hamba Allah. Nilai-nilai di atas dimaknai melalui nilai-nilai filosofis pendidikan. Merujuk kepada sejarah filsafat Islam yang telah melahirkan guru-guru besar pendidikan Islam seperti Al-Kindi (801-973), Ibn Miskawaih (932-1030), al-Ghazali (1058-1111), dan lain-lainnya. Mereka telah memberikan kontribusi yang besar dalam pendidikan Islam khususnya mengenai konsep akhlak.
Al-Kindi dikenal sebagai bapak filsafat Islam yang pertama, beliau membuat perbandingan keadaan jiwa
dengan hewan, apabila kemuliaan jiwa diingkari dengan kesenangan-kesenangan
jasmani maka jiwa itu seperti hewan karena kecakapan afektif menguasai mereka.
Namun, orang-orang yang menjadikan jiwa sebagai akal bagi tuannya maka ia
perbandingannya seperti raja. Miskawaih menerangkan bahwa tujuan utama
daripada agama ialah membangkitkan budi pekerti yang luhur. Al-Ghazali juga menjelaskan akhlak
sebagai sifat yang tetap dalam jiwa, yang daripadanya
timbul perbuatan dengan mudah, tanpa perlu kepada pikiran. Meraka berpikir dan
mengkaji konsep akhlak secara mendalam melalui pemahaman konsep ruh dan jiwa.
Sejalan dengan
pemikiran filosof di atas, kita harus berpikir apakah permasalahan pendidikan
hari ini. Mengapa persoalan karakter pelajar terus mencuat. Apakah sistem
pendidikan dan tujuan pendidikan yang tidak searah. Ataukah kemampuan guru yang
kurang memadai. Semua persoalan ini harus dilihat seluk beluk nilai-nilai
filosofis didalamnya, karena pendidikan hari ini menentukan kehidupan generasi
muda sepuluh, dua puluh bahkan lima pulah tahun ke depan. Hal ini dapat dilihat
bagaimana pengaruh pemikiran para filosof Islam sejak berabad-abad yang lalu terus
dibicarakan sampai hari ini.
Kompetensi Guru
Pendidikan Islam bertujuan melahirkan manusia yang cerdas dan seimbang
dari segi jasmani, rohani, emosi, dan intelektual sehingga menghasilkan manusia
yang bertaqwa dan berakhlak mulia. Pembentukan dan pembinaan akhlak dalam
pendidikan Islam mesti menitikberatkan keempat aspek tersebut. Aspek itu harus
dilatih, diamalkan sejak kecil bahkan harus ditanamkan sejak masih dalam
kandungan.
Namun seiring arah dan tujuan pendidikan hari ini yang lebih
memfokuskan kepada aspek intelektual sehingga melahirkan generasi yang kurang
siap menghadapi godaan hidup, khususnya yang memberikan kenikmatan jangka
pendek tetapi memberikan kesengsaraan jangka panjang. Kecerdasan intelektual
sebagai ukuran kepada masyarakat dalam menilai kecerdasan individu. Kecerdasan
intelektual bersifat kuatitatif dan berakar pada jiwa pribadi yang
terletak dibagian kiri otak. Individu yang dipengaruhi oleh kecerdasan
intelektual lebih menilai kenikmatan tubuh dan badan saja. Namun, itu semua tidak
berarti kecerdasan intelektual tidak diperlukan. Sebaliknya ia adalah
kesempurnaan bagi manusia menjalani kehidupan dengan visi dan misi yang lebih
jelas.
Kecerdasan jasmani merupakan kecerdasan yang berkaitan dengan
persoalan fisik kehidupan. Ia dibarengi oleh kebijaksanaan jiwa yang memiliki
tiga komponen besar, ‘fisik’ yaitu badan, ‘diri’ yaitu tempat kecerdasan intelektual
dan emosi serta ‘jiwa’ yaitu tempat kecerdasan emosi. Keterkaitan satu sama
lain di antara ketiga-tiga komponen itu adalah fakta yang tidak terbantahkan.
Apabila ‘badan’ merasa tidak tentram, ‘diri’ dan ‘jiwa’ juga ikut tidak
tentram. Kecerdasan emosi adalah kecerdasan yang lebih berhubungan dengan
masalah-masalah ‘jiwa’ dan ‘diri sendiri’. Ia berasaskan ‘jiwa insan’ dan
terletak di bagian kanan otak. ‘Jiwa insan’ adalah tempat kasih sayang,
kreatif, dan inovatif. Dan terakhir kecerdasan rohani yaitu kecerdasan yang
melebihi kecerdasan fisik dan jiwa, ia berakar pada ‘jiwa rahasia’ yang
terletak di hati kerohanian yang bukan kebendaan. ‘Jiwa rahasia’ adalah tempat berzikir
kepada Allah, mengabdi dan beribadah sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.
Mewujudkan
pendidikan yang islami harus dimulai pembinaannya dari diri sendiri. Pribadi
yang mulia dan bermartabat adalah pribadi yang seimbang kecerdasan intelektual,
emosi, jasmani, dan rohani. Maka hemat penulis, guru adalah pribadi yang mulia
dan bermartabat maka hendaknya guru harus mempunyai dan memahami yang lebih mendalam
empat kecerdasan itu. Dengan kecerdasan itulah guru akan mudah mendidik dan
membina murid-muridnya, sehingga krisis akhlak yang meresahkan masyarakat dapat
diminimkan bahkan dapat terselesaikan. Masyarakat juga harus menjadi pengontrol
akhlak generasi muda. Kontrol sosial dari masyarakat dapat menjadi saran dan
masukan bagi perkembangan pendidikan Aceh. Dan akhirnya cita-cita pendidikan
Aceh menuju pendidikan Islami dapat terwujud dengan sendirinya.

0 Response to "Trik dan tips Menjadi Guru Yang Baik"
Posting Komentar