Lasi dan Ibu Hebatnya
Tragis benar
nasib Lasi Ramadhani –begitu ibu yang sangat mencintainya memberi nama padanya.
Saat ini ia berusia 10 tahun, dan ia adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara.
Kehidupannya benar-benar berbeda dengan anak-anak lain seusianya.Jika
anak-anak lain sedang mengikuti jadwal pelajaran di sekolahnya masing-masing,
Lasi saat itu mungkin sedang membantu sang ibu menanam bayam di tanah tak subur
dibelakang gubuknya –yang dipinjamkan oleh seorang tetangganya yang baik hati.
Bila anak-anak lain di sabtu sore yang cerah-seperti sore ini-sedang menikmati
jalan-jalan bersama ayah tercintanya, mungkin ia sudah berjalan kaki sejauh 3
kilometer lebih hanya untuk menjajakan sebongkol singkong yang tak sengaja
tumbuh dibelakang tempat tinggalnya. Begitulah lasi melalui hari-hari bersama
ibu dan sanak saudaranya.
Lasi
menderita kelainan jantung –begitulah diagnosa seorang dokter yang berada di
puskesmas serta seorang dokter lain yang bertugas di rumah sakit umum daerah
Sigli. Dokter di Sigli telah menyerah dengan keadaan Lasi, dikarenakan masalah
kekurangan alat dan tenaga, dokter di Rumah Sakit Sigli pun akhirnya merujuk
Lasi ke Banda Aceh.
Sekitar setahun
yang lalu –setelah ibunya mendengar anaknya didiagnosa menderita kelainan
jantung oleh sang dokter- Lasi pun dibujuk oleh ibunya untuk menemui sang ayah
–yang telah menceraikan ibunya dan tinggal bersama ibu tirinya. Ibunya punya
keinginan yang sangat besar untuk mengobati Lasi. Tapi apa dikata, pada saat
yang bersamaan ibunya hanya memiliki uang lima belas ribu rupiah –dan itu
bahkan tak cukup untuk ongkos kendaraan umum mereka berdua berangkat ke Banda
Aceh apalagi untuk biaya makan selama mereka berada disana, ibunya masih
kekurangan uang sebanyak sepuluh ribu rupiah untuk bisa menumpang angkutan dari
Padang Tiji menuju Rumah Sakit Umum Zainal Abidin di Banda Aceh, dan ibunya..
tak punya cukup nyali untuk menemuinya ayah Lasi setelah begitu banyak perlakuan
buruk yang ia terima dari sang mantan suami.
Karena
desakan dari si ibu tadi akhirnya Lasi -yang saat itu belum genap berumur 7
tahun- pun pergi menemui ayahnya. Sesampai ia ke rumah ayahnya ia pun mulai
merajuk dan meminta uang sebanyak sepuluh ribu kepada ayahnya. Dia beralasan
sakit, sering mengalami kejang, dan sesak nafas. Tak berapa lama, sang ayah
yang mulai tak sabar menghadapi rengekan dari Lasi pun melakukan sesuatu yang
tak akan pernah Lasi lupakan seumur hidupnya. “PLAKKKK..” sebuah tamparan keras
mendarat tepat di pipi Lasi, anak kecil yang belum genap berusia 7 tahun itupun
terjungkal mencium tanah.
Sedih.. Tak
menyangka ia pasti, bahwa ayah yang sangat ia kagumi itu ternyata bisa
memperlakukannya sekasar itu. Sejak saat itu sakitnya pun bertambah hebat, dan
Lasi.. tak pernah bicara lagi.
Saya bertemu
dengannya kemarin. Tekad besar ibunya untuk kesembuhan Lasi telah membawa
mereka berdua ke praktik saya. Saat saya bertemu dengannya pertama kali,
kondisinya sangatlah pucat, tak ada sedikitpun keceriaan –yang biasanya
tergambar diwajah anak seusianya yang lain, dengan bibir dan badan yang
bergetar, dan bekas luka yang melebar di pipi kanannya. Saat saya mulai
memeriksanya, bunyi jantungnya begitu bising -salah satu tanda adanya ketidakberesan
dalam sirkulasi darahnya, mulutnya juga terkatup, tak ada suara yang keluar
dari bibir mungilnya itu. Dengan pandangan kosong dia mulai memegang stetoskop
saya -saat saya sedang mendengar bunyi jantungnya. Dari steteskop itu dia mulai
meraba hidung dan pipi saya sembari tak berkata apa-apa. Saya jarang merasa
terharu, tapi saat tangan kecil itu mulai membelai pipi saya, ada
bertitik-titik air mata yang seakan terdesak hendak keluar dari kelopak mata
saya.
Lasi..
dengan nama itulah bocah wanita itu tumbuh besar. Ibunya mulai bercerita
tentang ikhwal kehidupannya. Dulunya mereka sekeluarga hidup dengan sangat
rukun. Ibu dan ayahnya selama 15 tahun mencari peruntungan di Pekan Baru.
Ayahnya adalah seorang pekerja lepas disebuah instansi di sana. Dari buah cinta
mereka lahirlah Lasi dan ketiga saudaranya. Setelah Lima belas tahun berada di
perantauan, mereka sekeluarga benar-benar merasa rindu akan tanah kelahiran,
dan sekitar dua tahun yang lalu pulanglah mereka semua ke tanah kelahiran
mereka, Padang Tiji.
Gelagat tak
menyenangkan dari sang ayah mulai dirasakan oleh ibunya tatkala kendaraan
sewaan yang mereka tumpangi –saat mudik itu- mulai melewati tanah kelahiran
mereka. Dengan dalih ada kepentingan yang mendesak, sang ayah mulai memacu
mobil itu sampai menuju pedalaman Lamtamot. Sang istri yang mulai gelisah
bertanya kepada suaminya, kemana mereka hendak pergi? Suaminya hanya diam dan
terus memacu kendaraan itu ke daerah berbatu dan tak beraspal. Tak berapa lama
mobil berhenti, sang ayah turun dan menyuruh semua anggota keluarganya juga
untuk ikut turun. Sang ibu yang gelisah mulai menangis, tak berapa lama pukulan
dan tendangan pun mulai mendarat di badan sang ibu dan anak-anaknya. Hari itu
ayahnya menceraikan ibunya, dan meninggalkan sang istri bersama keempat orang
anak-anak itu saling berpelukan, tepat dipedalaman hutan Lamtamot.
Entah dengan
cara seperti apa –Lasi, ibu dan saudara-saudaranya- akhirnya bisa pulang
kembali ke Padang Tiji hingga akhirnya bertemu dengan saya. Hari ini mereka tinggal
berlima di sebuah gubuk yang bahkan tak berdinding. Sehari-harinya sang ibu
menanam bayam dan memetik kangkung untuk dijual ke pasar dan menghidupi semua
buah hatinya. Ayahnya sudah bertahun tak menafkahi mereka lagi.
“Apa ibu
sanggup membeli beras untuk diri ibu dan anak-anak?”, tanya saya pada ibunya
disela-sela percakapan kami.
Jawab
ibunya, “Alhamdulillah kepala desa saya sangat baik hati, meskipun kami belum
memiliki Kartu Keluarga tapi pak keuchik selalu memberikan beras kepada kami
sekeluarga”.
“Lantas..
untuk ikan dan lauk-pauknya bagaimana,bu?” tanya saya lagi.
“kami
sekeluarga sudah lama tidak makan ikan, pak dokter. Bahkan kami tidak pernah
bermimpi untuk bisa makan ikan. Biasanya kami mencampur bumbu dari mie instan
kedalam kedalam nasi yang kami sekeluarga makan, karena dengan begitulah nasi
akan lebih berasa. Alhamdulillah juga anak-anak tidak rewel dan begitu mengerti
dengan keadaan saya. Jika saya membeli ikan untuk lauk maka saya tidak akan
bisa menyekolahkan abang tertua Lasi yang sekarang duduk dikelas dua SMP.
Tekatnya sangat besar untuk sekolah, dan saya akan melakukan apapun untuk
keberhasilannya”, ucap ibu Lasi panjang lebar.
Pasti masih
ada begitu banyak kisah yang ingin diceritakan oleh sang ibu itu kepada saya,
tapi saya takut.. takut jika setelah mendengar begitu banyak cerita mereka tapi
saya tak bisa berbuat apa-apa setelahnya. Saya juga malu, jika dalam umur yang
sudah setua ini ternyata saya tak sedewasa Lasi dan sanak saudaranya dalam
merasakan dan menikmati susahnya hidup.
Ibu..
Tak ada yang bisa menggantikan cinta kalian kepada kami -anak-anak kalian,
tidak seorang ayah, tidak juga jika semua air laut didunia ini dijadikan tinta
untuk merangkai puji-pujian untuk kalian.
Dan kita
semua juga harus belajar dari seorang Lasi, yang meskipun sakit-sakitan tapi
tak pernah berkeluh kesah, apalagi merengek-rengek minta dibelikan mainan dan
baju baru seperti anak-anak yang lain. Yang terbiasa hidup apa adanya dan
tak pernah bermimpi meminta lebih.
Kelak.. jika
kita mulai memegang garpu dan pisau sebelum hendak memotong sekerat steak lezat
yang sudah terhidang -di depan mata kita, ingat-ingatlah seorang anak yang
bernama Lasi. Seorang anak sakit-sakitan yang sudah lama benar tak merasakan
lezatnya daging segar yang bernama “ikan”.

0 Response to "Lasi Dan Ibunya Yang Hebat"
Posting Komentar